WAJAH ISLAM NUSANTARA di BUMI PAPUA
JEMBER – Studium General yang digelar Pascasarjana IAIN Jember mengangkat tema yang menarik, yakni “Pengalaman Moderasi Beragama di Papua” Kegiatan akademik yang ditempatkan di Gedung Kuliah Terpadu (GKT) IAIN Jember pada 25 Oktober 2019 itu menghadirkan narasumber tunggal Rektor IAIN Fattahul Muluk Papua Dr. Hb Idrus Al Hamid, S.Ag, M.Si. Tema yang diusung ini berkorelasi dengan misi Pascasarjana IAIN Jember yaitu melaksanakan pendidikan dan penelitian dalam mengembangkan kajian keislaman interdisipliner berbasis Islam nusantara.
Direktur Pascasarjana IAIN Jember Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA yang menjadi moderator dalam acara tersebut mengatakan bahwa sangat senang bisa mengetahui dan memahami pengalaman moderasi beragam yang disampaikan oleh Dr. Hb. Idrus Al Hamid selama menjalani kehidupan di wilayah paling ujung timur Indonesia. “Ini menjadi penting pengalaman Habib karena beliau hidup di Papua sehingga kita bisa memetik pelajaran berharga bagaimana moderasi beragama itu bisa diterapkan di Papua,” ujarnya di hadapan peserta yang terdiri dari mahasiswa Pascasarjana IAIN Jember S2 dan S3 maupun civitas akademika Pascasarjana.
Menurut Hb. Idrus, berkaitan dengan moderasi agama di Papua, penerapan nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin sangatlah tepat jika diterapkan di bumi Papua. Sebab, ajaran Islam memiliki nilai-nilai toleransi. Hanya saja, masih ada sebagian persepsi masyarakat yang melihat masyarakat Papua tidak bisa menerima ajaran Islam dan memposisikan Papua sebagai wilayah yang tidak menjadi bagian NKRI. “Maka dari itu, janganlah kalian (orang luar Papua) memandang orang Papua dengan pandangan yang pesimis, intimidatif, karena bagaimanapun juga Papua merupakan bagian dari NKRI” tegas Dr. Hb. Idrus.
Hb. Idrus mengingatkan ada tiga poin penting yang harus disikapi secara arif ketika melihat kondisi dan situasi Papua. Pertama, selalu melakukan kross cek terhadap informasi yang diframing oleh media. Sebab, apa yang terjadi di Papua, tidak semua dikonstruksikan secara benar oleh media. “Bisa jadi itu ada indikasi agar orang luar tidak pergi berkunjung ke Papua, “ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Poin kedua yang penting diperhatikan terhadap masyarakat adalah agar tidak membawa nilai-nilai ekstrim ke tanah Papua. Dinyatakan, cara berdakwah yang langsung menyalahkan masyarakat Papua tidaklah tepat. Sebab, sebagai masyarakat sosial, warga Papua juga dapat menerima ajaran Islam dengan baik. “Jika mengajarkan nilai-nilai ekstrim, jika Anda tidak ingin diperlakukan secara ekstrim pula oleh orang Papua,” tegasnya.
Poin ketiga yang ditegaskan Hb. Idrus adalah agar memahami budaya masyarakat Papua didalam menyampaikan nilai-nilai pesan Islam. Hendaknya, dakwah dilakukan dengan komunikasi yang baik yang dapat mudah dimengerti masyarakat Papua. “Hendaknya tidak langsung menggunakan dalil agama. Melainkan menggunakan dialektika budaya warga Papua. Model komunikasi seperti inilah yang sangat efektif sekali,” katanya.
Studium general yang digelar pukul 13.00 WIB itu mendapatkan sambutan antusias dari peserta. Peserta mendapatkan kesempatan bertanya langsung kepada narasumber. Selain itu, peserta juga sudah mendapatkan materi tulisan dari Hb. Idrus sehingga memudahkan lalu lintas dialog. Peserta juga mendapatkan pengalaman yang menarik karena Hb. Idrus berbicara tidak hanya teori, tetapi praktik langsung karena bertahun-tahun hidup di tanah Papua. “Saya katakan, kerusuhan Tolikara dan Wamena, itu komoditas politik,” tegasnya (Najikh)